Lebih Baik Jadi Miskin Atau Kaya?

Jika kita membaca Al-Qur'an maupun hadist-hadist Rasul ﷺ, akan kita temukan banyak sekali celaan terhadap dunia, harta, kekuasaan, dan yang sejenisnya. Sebagian orang menyangka bahwa celaan-celaan tersebut menunjukkan kehinaan dan tidak selayaknya mencari harta sebanyak-banyaknya. Contohnya, ada beberapa hadist yang menyatakan bahwa dunia bagaikan bangkai kambing yang cacat, orang kaya hisabnya lebih lama dibanding orang miskin, dan penghuni surga banyak dihuni oleh orang-orang miskin. Lantas, dengan adanya hadist-hadist demikian, apakah benar kita tidak dianjurkan menjadi orang kaya? Tunggu dulu, jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Di satu sisi, banyak juga ibadah-ibadah yang membutuhkan cukup harta seperti haji, umroh, kurban, akikah, sedekah, zakat, bahkan menuntut ilmu-pun membutuhkan harta yang cukup. Oleh karena itu, sebagian orang meyakini sebaliknya, bahwa muslim dianjurkan menjadi kaya. Hal ini juga sering dijadikan alasan ibu-ibu untuk menuntut suaminya, bahwa muslim harus kaya agar bisa ibadah, hehehe. 

Secara objektif dan setelah ditelaah secara penuh, saya berpendapat bahwa seorang muslim memang dianjurkan untuk kaya dalam rangka banyaknya pintu kebaikan yang terbuka daripada menjadi miskin. Haji, umroh, jihad di jalan Allah, sedekah, zakat, amal jariah, menebarkan ilmu, dan lain sebagainya akan lebih mudah dilakukan jika seseorang memiliki banyak harta. Memang betul orang miskin bisa berkontribusi sesuai kemampuannya, namun efeknya lebih besar kontribusi yang dilakukan oleh orang kaya. Bukankah 3 sahabat yaitu Abu Bakar, Umar, dan Utsman radiyallahu 'anhum adalah orang-orang kaya? Saya lebih menyukai penggunaan kata "dianjurkan" daripada "diharuskan", karena keharusan menunjukkan kewajiban yang memiliki konsekuensi wajib dilakukan. Lantas, jika dianjurkan kaya, mengapa begitu banyak celaan terhadap dunia? Bahkan Allah ﷻ sering menyebutkan bahwasanya banyak manusia terlalaikan dengan kekayaan. Bahkan, banyak peradaban dunia hancur karena mereka lalai dengan kekayaan seperti yang terjadi di Andalusia. Mengenai hal ini, mari kita bahas lebih rinci.

Coba lakukan survey, tanya orang-orang, apakah mereka mau diuji dengan kemiskinan atau kekayaan? Saya yakin hampir semua orang akan lebih memilih diuji dengan kekayaan. Nyatanya, banyak sekali orang yang gagal jika diuji dengan kekayaan, mengapa demikian? Karena ujian kekayaan membutuhkan beberapa aksi yang menguras waktu dan fisik, sedangkan ujian dengan kemiskinan cukup dengan bersabar. Misal, seseorang yang diamanahkan rezeki, maka dia harus menjamin bahwa rezekinya halal, kemudian dibelanjakan kepada hal yang bermanfaat, dan tentu ada hak orang lain seperti infak, sedekah, dan zakat. Saya sering menguji diri saya sendiri, dan terkadang orang-orang yang saya ajak ngobrol, "Jika ada uang kaget 10M, apa yang akan dilakukan?" Saya dalam hati secara spontan langsung membayangkan membeli rumah di kawasan elit, membeli mobil mewah, dan sebagainya, setelah itu baru saya alihkan untuk umroh atau haji. Begitu juga orang yang saya ajak ngobrol, rata-rata mereka akan penuhi dulu impiannya kemudian menjawab, "eh umroh atau haji dulu sih hahaha." Itu memang fitrah manusia, dan melatih diri untuk mencondongkan hati untuk lebih giat beribadah setelah memiliki banyak harta sangatlah susah. Bayangkan, hati saja sangatlah sulit dikontrol apalagi setelah harta benar-benar ada di tangan! Itulah mengapa banyak orang jatuh kepada kesombongan, kelalaian, keserakahan, kemubaziran setelah mendapatkan banyak harta.

Setelah realita tersebut, apakah menjadi kaya tidak dianjurkan? Maka saya akan tetap menjawab, tetap dianjurkan! Namun dengan catatan yang sangat banyak. Celaan terhadap dunia dan harta bukanlah suatu hal yang menunjukkan keharamannya, namun Allah ﷻ ingin agar kita mengetahui kedudukannya. Bahwasanya kekayaan itu bukanlah tujuan, namun modal dasar untuk hidup dan penopang kebaikan. Ketika seseorang menjadikan kekayaan sebagai tujuan utama, maka mereka itulah orang-orang yang hina dan akan terlalaikan oleh dunia. Ketika seseorang menjadikan kekayaan sebagai pendukung tujuan utamanya yaitu kebaikan, maka itulah orang-orang yang mulia dan dicintai. Agar hati condong agar kebaikan menjadi tujuan utama, maka ini butuh waktu untuk melatihnya, bahkan bertahun-tahun. Seorang anak dilatih oleh orang tuanya agar gemar bersedekah, gemar berempati kepada orang miskin, gemar berbaur dengan orang miskin, dan gemar bersyukur. Seseorang dilatih menerima harta secara bertahap mulai dari ratusan ribu, jutaan, sampai milyaran. Ketika dia amanah ketika memegang harta dalam jumlah kecil, seperti gemar bersedekah dan yang lainnya, maka inshaallah dalam jumlah besar dia akan melakukan hal yang sama. Maka, kekayaan di tangan orang yang melatih dirinya untuk terus melakukan kebaikan di saat dia susah adalah kekayaan yang dianjurkan dan orang seperti ini lebih dicintai daripada orang miskin. 

Mengapa Menjadi Miskin Tidak Dianjurkan?

Orang-orang yang ditakdirkan miskin memiliki peluang besar untuk masuk surga, bahkan hisab mereka lebih cepat daripada orang-orang kaya. Kendati demikian, kemiskinan tidak dianjurkan untuk sengaja dicari. Cobalah amati banyaknya doa Nabi ﷺ, beliau seringkali meminta agar diberi kecukupan, dihindarkan dari utang, dijauhkan dari penindasan, dan dijauhkan dari kemiskinan. Dalam beberapa hadisnya beliau mengatakan muslim yang kuat lebih dicintai daripada yang lemah, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, dan sedekah orang kaya lebih utama daripada sedekah orang miskin! Hal ini menunjukkan kemiskinan memang bisa datang kepada siapa saja namun bukanlah hal yang sengaja untuk dicari. Kemiskinan layaknya kondisi sakit, bisa datang kepada siapa saja namun tetap orang-orang dituntut untuk hidup sehat.  Kemiskinan layaknya musibah, bisa datang kepada siapa namun tidak selayaknya orang sengaja mencarinya. Realitanya, begitu banyak kemudaratan jika seseorang atau suatu negeri ditimpa dengan kemiskinan. Hilangnya kestabilan negara, banyaknya peperangan, munculnya kriminalitas dan prostitusi, banyak disebabkan oleh faktor kemiskinan. Dan Nabi ﷺ menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki makanan, tempat tinggal, dan kendaraan adalah orang yang bahagia. Jika memang seseorang sudah berusaha namun mereka tetap miskin, hal tersebut bukanlah dosa namun takdir Allah ﷻ yang harus diterima dan tetap bersabar. 

Jika Seseorang Ditakdirkan Miskin

Seseorang sudah berusaha sebaik mungkin, namun takdir berkata lain. Misal, kesulitan mencari pekerjaan, usaha yang tidak kunjung berkembang, di-PHK, dan lain sebagainya. Allah tidak menilai apa yang telah mereka hasilkan, namun Allah menilai apa yang telah mereka usahakan. Maka, jika keadaan demikian, orang tersebut memiliki jalan lain untuk beribadah yaitu dengan qona'ah, zuhud, dan bersabar. Hal ini berbeda keadaannya dengan orang yang memang bermalas-malasan, tidak melakukan kontribusi apapun, dan terkadang bergantung kepada orang lain. Maka, kemiskinan yang seperti ini adalah suatu kehinaan. Perlu diingat, meskipun tadi dikatakan ujian kekayaan lebih sulit dari kemiskinan, bukan berarti ujian kemiskinan disebut mudah. Faktanya banyak orang miskin yang tidak bisa hidup zuhud, banyak membuang-buang waktu dan banyak membuang harta untuk hal yang tidak bermanfaat. Contoh kecilnya adalah banyak seorang ayah yang lebih membeli rokok daripada membeli makanan yang bergizi untuk anaknya, padahal hidup di bawah garis kemiskinan. Banyak juga orang yang membelanjakan hartanya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat agar tidak dipandang remeh oleh tetangga atau teman, bahkan rela berutang.

Ukuran Kekayaan

Dalam menentukan seseorang disebut kaya atau tidak, banyak terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan seseorang disebut kaya jika memiliki harta yang sangat melimpah, aset dimana-mana, dan perusahaan dimana-mana. Ada juga yang mengatakan jika masih ada harta setelah seluruh kebutuhannya tercukupi maka dia disebut orang kaya. Saya condong kepada pendapat bahwa orang yang masih memiliki harta setelah semua kebutuhannya terpenuhi adalah orang kaya, meskipun kebutuhan seseorang bisa berbeda-beda tergantung perspektif pribadi (subyektif). Si Fulan tinggal di kota A, orang tuanya di kota B, si Fulan cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, memiliki banyak fasilitas dalam rumah, dan memiliki kendaraan ke kota B, maka si Fulan adalah orang kaya secara objektif. Berbeda dengan si Allan, untuk memenuhi kebutuhannya masih kurang, terkadang harus berutang, dan terkadang harus tidak makan dalam sehari, maka si Allan adalah miskin secara objektif. Adapun ada orang yang masih merasa kurang padahal seluruh kebutuhannya sudah tercukupi, namun karena gaya hidup yang tinggi maka orang tersebut secara objektif adalah orang kaya namun tertanam di hatinya kemiskinan. Itulah orang yang Allah telah cerai beraikan urusannya dan Allah jadikan kemiskinan di pelupuk matanya.

Menjadikan Ibadah Sebagai Alibi Mencari Kekayaan

Seringkali saya temukan ada orang-orang yang menuntut hidupnya menjadi kaya dengan alasan ingin mudah beribadah. Misalnya seorang wanita yang menuntut kehidupan ideal dari suaminya kemudian sering terjadi percekcokan dalam rumah tangga gara-gara hal ini. Padahal, dengan harta yang sedikit saja terkadang banyak alasan untuk beramal salih. Seperti jarang bersedekah, jarang berinfaq, jarang menuntut ilmu, dan lain sebagainya. Kemungkinan besar orang seperti ini hanya menunggangi tujuan ibadah untuk membenarkan tuntutan kepada suaminya. Padahal, tujuannya ingin bermewah-mewah agar bisa dipandang kelas atas oleh teman-teman dan orang sekitarnya. Jangan heran, niat yang salah bisa mengubah segalanya. Dan banyak juga setelah mendapat kekayaan ternyata semakin terlalaikan dari agama dan Allah hancurkan semuanya dalam sekejap. Begitu juga dengan laki-laki, banyak juga yang hancur setelah mendapatkan kekayaan karena ternyata godaannya semakin besar. Semoga Allah melindungi kita dari hal yang demikian. Ingatlah, mendidik hati untuk condong kepada ibadah tidaklah instan, akan banyak sekali ujian dari Allah mulai dari kesulitan dan kesempatan. Seseorang bisa jadi mengalami fase-fase sulit agar memahami betul apa itu empati dan apa itu syukur. Seseorang bisa jadi sering dihadapkan dengan beberapa kesempatan seperti dipertemukan dengan orang-orang miskin sebagai ujian apakah mereka peduli.

Realitas Lanjutan

Sepanjang hidup saya, saya bertemu dengan berbagai macam orang. Mulai dari orang kaya, orang miskin, pemimpin perusahaan, buruh, dan pemuda-pemuda yang baru saja lulus sekolah. Saya adalah tipe orang yang pengamat, bagaimanakah mereka? Apakah layak dijadikan teman? Apakah mereka akan berpengaruh dengan kehidupan saya? Ternyata, ada orang-orang kaya yang luar biasa tersembunyi dari omongan orang-orang, namun ternyata amal jariahnya sangat banyak seperti membangun masjid, pesantren, perusahaan, dan melakukan kebaikan lainnya. Banyak juga orang-orang yang sebenarnya tidak kaya namun memaksakan diri untuk terlihat kaya. Sebagian orang saya temukan hidup serba kekurangan namun murah senyum dan menyenangkan, seolah-olah tidak ada masalah apapun dalam hidupnya. Faktanya, orang kaya yang tersembunyi namun melakukan banyaknya kebaikan sangatlah sedikit, menandakan ujian kekayaan lebih sulit daripada kemiskinan. Ada juga pemuda-pemuda yang baru saja lulus sekolah, kemudian mendapatkan pekerjaan, banyak dari mereka malah terjatuh kepada judi online, prostitusi online, dan lain sebagainya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Validasi Orang Lain, Antara Penting Dan Tidak Penting