Polemik Musik Antara Adi Hidayat Dengan Ustadz Salafy

Di antara kegaduhan yang terjadi saat ini adalah polemik hukum musik di antara Ustadz Adi Hidayat dengan Ustadz-ustadz Salafy dan menimbulkan perdebatan di kalangan awam. Kami termasuk orang yang kontra dengan pendapat Ustadz Adi Hidayat hafizahullah, namun bukan bagian kami menyerang beliau secara pribadi melainkan kritikan secara ilmiyyah. Pembahasan kali ini akan objektif terhadap materi yang beliau bawakan. Untuk masalah background pendidikan, kita tidak ragukan beliau adalah lulusan S2 yang berkaitan dengan bahasa Arab.

Untuk hukum musik secara lengkap, kami rasa sudah banyak asatidzah yang menjelaskannya dan mereka jauh lebih berhak dalam menjelaskan hal ini.


Video yang bagus dari Rational Believer tentang kemungkaran musik, semoga menjadi bahan renungan.

Syair = Musik, Penyair = Pemusik

Pertama, UAH menggunakan metode yang aneh dalam beristidlal, dimana beliau menyama-ratakan hukum hanya karena ada garis persamaan antara sya'ir dengan musik. Menurut beliau yang berkecimpung di dalam bahasa Arab, di antara definisi sya'ir adalah musik karena sya'ir mengandung irama dan mempengaruhi rasa. Atas definisi tersebut, beliau mengatakan bahwa penyair adalah pemusik, lalu beliau menyebut bahwa surat Asy-Syu'ara adalah  para pemusik dan Hasan bin Tsabit radiyallahu 'anhu adalah pemusik di sisi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Tentunya ini adalah kesimpulan yang diada-adakan dan kami belum pernah mendengar ada ulama di zaman dahulu yang berkesimpulan semacam ini.

Pendalilan model seperti itu hanyalah membutakan orang awam dari fitrahnya dan jadi celah bagi para pemusik untuk terus melanjutkan kemungkarannya, padahal secara alami orang-orang sudah bisa membedakan apa itu sya'ir apa itu musik. Metode pendalilan seperti ini terkesan dipaksa-paksakan (ccocoklogi). Ketika beliau dikritik, beliau sama sekali merasa tidak bersalah melainkan terus mencari dalih dan justru menjatuhkan perngkritik secara personal. Maka ketika ditanyakan, apakah orang yang berirama di dalam Al-Qur'an (qari) adalah disebut pemusik juga? UAH menjawab nada Al-Qur'an dengan sendirinya muncul karena tajwid, maka qari tidak disebut pemusik. Bukankah beliau menyamakan sya'ir dengan musik hanya gara-gara ada benang persamaan yaitu sama-sama berirama, mengapa tiba-tiba ketika diqiyaskan kepada Al-Qur'an standarnya menjadi berubah? Dan beliau membuat standar baru bahwasannya musik memiliki ketukan tersendiri sedangkan Al-Qur'an tidak. Maka seharusnya beliau juga harus bisa membedakan sya'ir juga memiliki sifat tersendiri, berbeda dengan musik. Inilah keanehan istidlal dari beliau semoga cepat disadari oleh beliau.

Ketika orang awam ditanya, "Tahukah kamu perbedaan puisi, lagu, sya'ir, dan musik?" Kami rasa tidak ada yang akan keliru menjelaskannya, karena permasalahan ini sudah terang benderang seterang matahari di siang bolong. Orang yang gemar berpuisi disebut pujangga, atau penyair, dan orang yang menyanyikan lagu diiringi dengan musik adalah musisi. Tidak ada khilaf di kalangan ahlul 'ilmi maupun orang awam. Mereka bisa membedakan apa itu musik, terkadang lagu tanpa musik mereka hanya sebut nyanyian saja, jika diiringi musik maka berubah menjadi musik. Dan menurut kami, ketika ulama menjelaskan tentang hukum musik, tentunya mereka akan membawakan definisi-definisi yang dipahami orang secara umum, bukan definisi-definisi yang dipaksakan sehingga ada kecocokan, lalu dari kecocokan itu disamakanlah hukumnya. 

Akibat Dari Penjelasan Yang Ngambang

Akibat dari penjelasan yang ngambang tersebut banyak sekali orang-orang yang menunggangi fatwa ini untuk terus melanjutkan kemungkarannya yaitu bermusik. Kita perhatikan ada orang-orang yang berkreasi seliar-liarnya dalam bermusik, dicampurkan dengan shalawat-shalawat, kalimat syahadat, dan mereka menjadi orang-orang yang beradab buruk ketika bershalawat kepada Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Hal ini mereka lakukan karena mereka meyakini bahwa boleh saja bermusik yang penting liriknya baik, lalu mereka menyandarkan perbuatan mereka yang mungkar tersebut atas keyakinan halalnya musik.


    

Kami berhusnudzan bahwa beliau juga mengingkari perbuatan-perbuatan di atas, namun yang kami tanyakan, bukankah antum sendiri meyakini bahwa selama mendatangkan kebaikan, maka hukum musik itu menjadi halal. Lantas, kebaikan menurut versi siapa yang antum maksud? Mereka melakukan hal-hal tersebut karena mereka meyakini apa yang dilakukan mendatangkan kebaikan! Jika kebaikan disandarkan kepada orang-orang, maka standar kebaikan tersebut akan selamanya relatif dan berubah-ubah selama ada fatwa yang mereka bisa tunggangi. 

Hal ini mustahil terjadi jika musik memang benar-benar diharamkan, bagaimanapun liriknya. Tidak ada lagi orang-orang yang berjoget dengan adab yang buruk ketika memuji Nabi, tidak ada lagi campur baur laki-laki dan perempuan, tidak ada lagi orang yang berkreasi liar dalam agama sehingga menjatuhkan muru'ah agama Islam yang mulia. Karena orang-orang yang gemar menunggangi fatwa tersebut akan merasa terkekang ketika mereka hendak berjoget jika tidak ada musiknya. Oleh karena itulah Nabi, para sahabat, para ulama tidak menggunakan musik sebagai media dakwah, meskipun mereka mendapati musik-musik di zamannya. Seandainya memang musik bisa mendatangkan kebaikan, seharusnya mereka terlebih dahulu yang melakukannya. Justru sebaliknya, sikap mereka terhadap musik sangatlah keras dan mereka mengharamkannya karena memahami tidak ada kebaikan di dalam musik.

99% Musik Tidak Mengajak Kepada Kebaikan (Melalaikan), Antum Halalkan Yang 1% Orang-orang Akan Menghalalkannya 100%

Cobalah masuk ke platform-platform musik seperti Spotify, YouTube, dan lain-lain, dan kami ajak antum untuk melakukan research terhadap musik-musik yang ada. Rata-rata isi dari musik tersebut adalah cinta-cintaan, galau-galauan, sebagian musik untuk motivasi, sebagian lagi musik ajakan untuk berzina dan berbau kemaksiatan. Saya berhusnudzan kepada beliau bahwasannya beliau mengingkari model musik seperti itu. Lalu coba kita research ada sebagian religi seperti Maher Zain dll, dan musik model seperti ini tidak terlalu banyak. 

Pertanyaannya, apakah orang betah selama setiap hari mendengarkan musik religi? Mungkin sebagian orang iya. Pertanyaan kedua, apakah mereka semua tidak akan pernah pindah kepada yang 99% yang melalaikan itu? Jawabannya mustahil! Kita bisa pastikan orang-orang yang berdalih bahwa ada musik yang halal yaitu musik religi ujung-ujungnya akan pindah juga kepada musik-musik yang 99% yang melalaikan! Ini adalah realita yang tidak bisa didustakan oleh siapapun, sebanyak apapun dalil dan dalih antum untuk mengotak-atik hukum ini.

Dan fenomena yang menyedihkan adalah ketika diadakan sosial eksperimen terhadap para pemuda, mereka ketika dibawakan sepotong lirik dari musik mereka langsung hafal lirik fullnya, siapa pencipta dan penyanyinya, dan di album yang mana musik itu diterbitkan. Ketika mereka dibawakan sepotong ayat Al-Qur'an bahkan di juz 30, mereka tidak mengetahui sama sekali dan tidak bisa meneruskannya, padahal surat yang sangat populer. Inilah dampak dari tenggelamnya masyarakat ke dalam kemungkaran musik, dan memang benar-benar melalaikan dari Al-Qur'an. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, "tidak akan bersatu antara Al-Qur'an dan musik." Kami berhusnuzan bahwa UAH bukanlah orang yang gemar mendengarkan musik, namun alangkah indahnya beliau menerangkan hal ini agar masyarakat tidak menunggangi fatwa beliau. Tentunya ini akan menjadi kebaikan bagi beliau dan pahala jariyah yang mengalir.

Inilah betapa tajamnya bashiroh ulama dalam menentukan hukum musik, mereka sangat berhati-hati ketika berfatwa. Mereka sangat takut ketika orang-orang yang mendengar fatwanya terjatuh ke dalam kekeliruan sehingga menjadi dosa jariyah bagi mereka. Mereka bukanlah orang-orang yang menjelaskan fatwa semata-mata ingin dianggap bahwa mereka memiliki ilmu yang luas, hafalan yang banyak, dan kelihaian dalam beretorika. Mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah dan menginginkan kebaikan bagi umat Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam.

Ketika Hadist Al-Bukhari Rahimahullah Dikritik


Al-Bukhari rahimahullah ketika membawakan hadits,

ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف

”Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik.”

Ada ulama yang mengkritiknya, yaitu Ibnu Hazm rahimahullah bahwa hadits ini adalah dha'if karena mu'allaq alias terputus sanadnya antara Al-Bukhari dan Hisyam bin Ammar. Ini adalah pembahasan yang sangat usang, dan orang-orang yang pernah belajar hadits tentunya tau kekeliruan dari Ibnu Hazm dalam hal ini.


Ketika kami menyaksikan klarifikasi UAH terhadap berita yang viral soal dirinya, ternyata beliau terkesan ikut-ikutan setuju bahwasannya hadits tersebut mu'allaq dan konsekwensinya hadits itu adalah dha'if. Tentunya, jika beliau berkesimpulan seperti itu, sudah bisa dipastikan ternyata kapasitas ilmu beliau tidak sehebat yang dikira oleh orang-orang awam, dan menunjukkan beliau tidak paham betul ilmu hadits dan derajat Al-Bukhari rahimahullah. Hadits mu'allaq dari Imam Al-Bukhari rahimahullah banyak didapati di dalam kitab beliau, akan tetapi tidak ada ulama ahli hadits yang mengatakan hadits beliau dha'if karena ketika diteliti beliau benar-benar menerima hadits tersebut dari gurunya. Terdapatnya hadits-hadits mu'allaq dalam Shahih Bukhari adalah ciri khas beliau, dan merupakan exceptional (pengecualian) di kalangan ulama hadits. Namun kami belum betul-betul menerima penjelasan dari beliau mengenai penilaian beliau terhadap hadits Al-Bukhari soal musik, namun jika beliau berdalil bahwa hadits itu adalah dha'if karena mu'allaq, maka sudah nampak hakikat keilmuan beliau. Dan beliau juga membawakan pendapat Ibnu Hajar, apakah beliau setuju dengan pendapat Ibnu Hajar soal hadits mu'allaq ini?

وَقَدْ تَقَرَّرَ عِنْدَ الْحُفَّاظِ أَنَّ الَّذِي يَأْتِي بِهِ الْبُخَارِيُّ مِنَ التَّعَالِيقِ كُلِّهَا بِصِيغَةِ الْجَزْمِ يَكُونُ صَحِيحًا إِلَى مَنْ عَلَّقَ عَنْهُ ولَوْ لَمْ يَكُنْ مِنْ شُيُوخِهِ، لَكِنِ إِذَا وُجِدَ الْحَدِيثُ الْمُعَلَّقُ مِنْ رِوَايَةِ بَعْضِ الْحُفَّاظِ مَوْصُولًا إِلَى مَنْ عَلَّقَهُ بِشَرْطِ الصِّحَّةِ أَزَالَ الْإِشْكَالَ، وَلِهَذَا عَنَيْتُ فِي ابْتِدَاءِ الْأَمْرِ بِهَذَا النَّوْعِ وَصَنَّفَتْ كِتَابَ تَعْلِيقِ التَّعْلِيقِ.

"Para ahli hadits telah menyepakati bahwa setiap hadits yang disampaikan oleh Al-Bukhari dalam bentuk tegas (jazm) dalam komentarnya, dianggap sahih terhadap orang yang hadits itu ditujukan, meskipun orang tersebut bukan termasuk guru-gurunya. Namun, jika hadits yang bersangkutan ditemukan dalam riwayat yang disambungkan oleh beberapa ahli hadits lainnya ke orang yang disebutkan dalam komentar, dengan kriteria keotentikan, maka ini menghilangkan keraguan. Oleh karena itu, saya memperhatikan jenis ini pada awal urusan dan telah menulis sebuah buku tentang komentar atas komentar." (Fathul Bāri: 10/53)

ولا الالتفاف إلى أبي محمد بن حزم الظاهري الحافظ في رده ما أخرجه البخاري من حديث أبي عامر وابن مالك الأشعري عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: ليكون في أمتي أقوام يستحلون الحرير والخمر والمعازف. الحديث من جهته أن البخاري أورده قائلا فيه: قال هشام بن عمار وساقه بإسناده فزعم ابن حزم أنه منقطع فيما بين البخاري وهشام وجعله جوابا عن الاحتجاج به على تحريم المعازف وأخطأ في ذلك من وجوه والحديث صحيح معروف الاتصال بشرط الصحيح

"Tidak perlu memperhatikan pendapat Abu Muhammad Ibn Hazm Az-Zahiri dalam tanggapannya terhadap apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari hadist Abu Amir dan Ibn Malik al-Asy'ari tentang Rasulullah , yang berbunyi: "Di antara umatku akan ada orang-orang yang menganggap halal sutra, alkohol, dan alat musik." Al-Bukhari menyampaikan hadist ini dengan mengatakan bahwa Hisham bin Ammar menyampaikannya dengan sanadnya, tetapi Ibn Hazm mengklaim bahwa terdapat pemutusan sanad antara Al-Bukhari dan Hisyam, dan menggunakannya sebagai jawaban untuk argumen yang menggunakan hadist ini untuk mengharamkan alat musik, namun dia salah dalam beberapa aspek. Hadist ini adalah sahih dan terkenal dengan keterhubungannya sesuai syarat-syarat yang sahih." (Muqaddimah Ibnu Shalah: 226)

Ternyata Rujukannya Kitab Mu'tazilah


Setelah menjelaskan panjang lebar tentang pembelaannya bahwa sya'ir adlah musik, ternyata kitab rujukan UAH bukanlah kitab-kitab yang masyhur di kalangan ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah, melainkan karya dari sejarawan yang berakidah Syi'ah dan Mu'tazilah yaitu Ali Al-Mas'udi. Berikut adalah komentar Adz-Dzahabi tentangya:

المَسْعُوْدِيُّ أَبُو الحَسَنِ عَلِيُّ بنُ الحُسَيْنِ بنِ عَلِيٍّ * صَاحبُ (مُروجِ الذَّهبِ) وَغَيْرِهِ مِنَ التَّوَاريخِ (١) ، أَبُو الحَسَنِ (٢) عَلِيُّ بنُ الحُسَيْنِ بنِ عَلِيّ مِنْ ذُرِيَّة ابْنِ مَسْعُوْد (٣) عِدَادُه فِي البَغَادِدَة، وَنَزَلَ مِصْر مُدَّة. وَكَانَ أَخْبَارِيّاً، صَاحبَ مُلَحٍ وَغَرَائِبَ وَعجَائِبَ وَفنُوْن، وَكَانَ مُعْتَزِليّاً.

"Al-Mas'udi, Abu Al-Hasan Ali bin Al-Husain bin Ali, penulis buku "Muruj Adz-Dzahab" dan karya sejarah lainnya. Abu Al-Hasan Ali bin Al-Husain bin Ali adalah keturunan Ibn Mas'ud, termasuk dalam kelompok orang Baghdad, dan ia pernah tinggal di Mesir untuk beberapa waktu. Dia adalah seorang ahli sejarah, terkenal dengan cerita-cerita menarik dan keajaiban serta berbagai ilmu, dan dia adalah seorang Mu'tazilah." (Siyar A'lam An-Nubalā: 15/569)

Tidak Ada Yang Luput Dari Kesalahan

Kami menyadari bahwasannya siapapun bisa saja terjatuh ke dalam kekeliruan, termasuk para ulama. Alangkah bijaknya sebagai seorang da'i memiliki akhlak yang mulia ketika ada kritikan datang kepadanya, dan tidak seharusnya dia berprasangka buruk bahwa da'i yang mengkritiknya adalah orang-orang yang hasad. Para da'i tentunya harus menginginkan kebaikan bagi orang yang didakwahi, dan seharusnya beliau tersebut berprasangka baik bahwa para pengkritik datang kepadanya semata-mata agar umat ini tidak terjatuh ke dalam kekeliruan. Jika kami perhatikan, para da'i yang telah mencoba bertabayun kepada beliau semata-mata hanya untuk meluruskan umat dari kekeliruan yang beliau sampaikan, seperti permasalahan takdir, sifat-sifat Allah, dan sebagainya. Ternyata proses tabayun itu tidak menghasilkan apapun, melainkan kebencian yang bertambah dari beliau dan stigma negatif terhadap pengkritiknya. Bahkan beliau mengesankan bahwa para pengkritik adalah pencela yang melempar batu dari belakang, lalu beliau menulis buku Manhaj Tahdzir Kelas Eksekutif yang berisi kronologis perselisihan antara beliau dan asatidzah salafy.

Dari kalangan asatidzah, mereka juga mengakui pernah melakukan kekeliruan seperti yang terjadi pada Ustadz Syafiq Riza Basalamah, Khalid Basalamah, dan lain-lain. Namun mereka hafizahumullah bergegas rujuk dari kekeliruan mereka dan mengakuinya, tidak mencari dalih untuk membenarkan kekeliruannya semata-mata agar orang awam menganggap mereka tidak pernah bersalah. Sikap seperti ini justru akan melembutkan hati masyarakat dan menjadi teladan bahwa kebenaran lebih utama daripada kekaguman masyarakat atas mereka.

Salah satu ustadz yang aktif mengkritik beliau adalah Ustadz Muflih Safitra hafizahullah, dan kritikan beliau mungkin menyakitkan bagi para penggemar UAH karena tidak terima gurunya dikritik. Para penggemar UAH menuntut agar para asatidzah yang mengkritik agar tabayyun kepada UAH dan mereka mengatakan para asatidzah yang mengkritik UAH telah mengghibahnya. Perlu dipahami, kekeliruan yang dipublikasikan maka layak untuk dikritik secara publik juga, dan tidak mengapa menyebut orang yang bersangkutan jika memang diperlukan. Ketika kami menyaksikan tanggapan beliau terhadap ustadz Muflih, ternyata beliau justru menyerang ustadz Muflih secara personal dan tidak subtansial sama sekali, bahkan beliau terkesan merendahkan bahwa Ustadz Muflih hanyalah lulusan teknik industri yang tidak pantas mengkritik beliau yang lulusan bahasa Arab. Dan beliau juga menerangkan bahwa beliau diundang oleh Al-Azhar dengan karpet merah lalu beliau berkata tidak mungkin saya diundang jika manhaj rusak. 

Penggermar dari UAH sangatlah banyak, dan mereka kagum terhadap beliau karena dahsyatnya hafalannya hingga bisa mengingat nomor ayat, nomor hadits, beserta letak pojok kanan dan pojok kiri. Tentunya, jika beliau menyampaikan kebenaran akan menjadi kebaikan yang dahsyat pula bagi masyarakat dan bagi beliau sendiri. Kami berharap bahwa para penggermar bisa menyadarinya dan perselisihan ini bisa cepat selesai dengan hasil akhir yang mendekati kepada kebenaran, bukan selesai dalam keadaan masyarakat masih buta terhadap hukum musik. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngaji Perbaperan

Ateis di Eropa